kuda hitam sdy

    Release time:2024-10-08 05:23:59    source:bolasinga   

kuda hitam sdy,hasil hk siang,kuda hitam sdy

Jakarta, CNBC Indonesia -Jelang pergantian kepimpinan dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke presiden terpilih Prabowo Subianto, ekonomi Indonesia menunjukkan gejala pemburukan. Jika dibiarkan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia berisiko jatuh ke bawah 5% dan impian tinggal landas menjadi negara maju 2045 bisa terancam gagal.

Adapun, indikasi pemburukan ini muncul di berbagai aspek dan diperkuat oleh data di lapangan. Pemerintahan baru kelak diharapkan bisa bekerja cepat untuk merespon pemburukan ini. Berikut ini, tiga tanda pemburukan ekonomi yang muncul di Tanah Air:

1. Badai PHK

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat kenaikan jumlah PHK per September 2024 menjadi 52.993 tenaga kerja di Indonesia. Angka tersebut naik 25,3% dari periode September 2023 di 42.277 tenaga kerja ter-PHK, dan naik 14,6% dari periode Agustus 2024 di 46.240 tenaga kerja ter-PHK.

Sektor manufaktur masih menjadi sektor yang langganan PHK tahun ini, meliputi industri tekstil, garmen dan alas kaki. Adapun, biang keroknya adalah kenaikan cukai rokok.

Lebih lanjut, jika dilihat secara daerah, DKI Jakarta mencatat tingkat pengangguran meroket hingga 575,93%, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 7.469 jiwa per Agustus 2024.

Baca:
Banyak Gen Z Nganggur di DKI, Ini Kata Si Doel hingga Suswono

Sementara itu, Bangka Belitung mencatatkan peningkatan jumlah tenaga kerja ter-PHK tertinggi, dimana per Agustus 2024 kenaikan tercatat 5.375,76% menjadi 1.807 tenaga kerja, dari Agustus 2023 sebesar 33 tenaga kerja.

Diurutan kedua diisi oleh Sulawesi Tenggara dengan kenaikan 672,5%. Posisi ketiga ditempati oleh Sumatera Barat dengan melesat 584,91%. Jika dibedah lebih rinci, salah satu penyumbang jumlah tenaga kerja ter-PHK berasal dari pabrik tekstil dalam negeri.

Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, angka PHK pada tahun ini memang akan naik dibanding kondisi pada tahun lalu yang mencapai 64 ribu orang terkena PHK. Pemerintah tengah merumuskan strategi untuk membantu mereka.

"Intinya akan ada sedikit kenaikan. Makanya kita langsung gerak hari ini, beberapa yang terkait dengan insentif tadi kan lagi kita evaluasi," ucap Susiwijono.

Ia mengatakan, penyelamatan ekonomi para korban PHK itu menjadi penting untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024. Sebab, kelas pekerja menjadi motor utama penggerak perekonomian.

Baca:
Bukan Cuma RI! Gen Z China Stres Usai Badai PHK, Pilih Pulang Kampung

"Semuanya kita kejar supaya tertolong di kuartal IV ini. Ini kan masih ada satu kuartal kita," kata dia.

Kebijakan penyelamatan yang akan diberikan untuk membantu para korban PHK itu di antaranya evaluasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP supaya lebih mudah diakses dan dimanfaatkan para korban PHK.

Salah satu inti evaluasi itu ialah mempermudah korban PHK mencairkan dana iuran BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, ia menekankan data pencairannya tidak selaras dengan angka tenaga kerja yang terkena PHK.

"Karena kan bagaimana kita mendesain awal-awal JKP itu kan untuk bantalan kalau terkena PHK, ya itu kita evaluasi kenapa belum optimal. Jadi kita sedang siapkan, kita sudah list substansinya apa saja," kata Susiwijono.

2. Deflasi 5 Bulan Beruntun

Masalah kedua adalah deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei-September 2024. Kondisi ini mirip dengan situasi 1998/1999 di mana deflasi juga terjadi secara beruntun.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.

Baca:
Jelang Debat Pilkada Jakarta, Begini Kondisi Ekonomi Jakarta

Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).

Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.

Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan. Namun ada potensi terjadinya pelemahan daya beli masyarakat yang juga dapat menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun.

Namun, tidak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.

IHK indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor supply. IHK akan melonjak atau mencatat inflasi tinggi saat terjadinya gangguan pasokan bahan pangan seperti cabai hingga beras. Jika pasokan kembali mencukupi maka harga kembali normal dan inflasi terkendali.

Baca:
Dua Kabar Buruk Menerpa RI Sekaligus

Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh kenaikan permintaan biasanya hanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Lebaran. Bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi karena permintaan menurun drastis. Namun, deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan kembali normal.

Kondisi ini berbeda dengan tahun ini di mana deflasi terus menerus terjadi di tengah laporan tercukupinya pasokan, mulai dari beras hingga telur. Sebagai buktinya, peternak telur sampai demo karena harga jatuh setelah permintaan terus turun.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan deflasi yang terjadi selama 5 bulan ini masih sesuai dengan target pemerintah.

"Yang paling penting saat kita melihat inflasi IHK ini ada tiga komponen di sana ada komponen dari core inflationnya sendiri, ada volatile food dan ada administrationnya. Kemudian, kita lihat penurunan beberapa bulan ini terjadi di volatile food," ungkap Susiwijono, kepada CNBC Indonesia TV, dikutip Senin (7/10/2024).

Artinya deflasi yang terjadi akibat penurunan harga pangan bergejolak yang menjadi indikasi keberhasilan pemerintah dalam menekan harga pangan yang sudah mengalami kenaikan tinggi.

Baca:
2025 Bakal Jadi Petaka: PPN 12% Hingga Tarif KRL Berbasis NIK

"Ini mengindikasikan bahwa volatile food ini betul-betul pemerintah berhasil mengendalikan," ujar Susiwijono.

Dia pun merunut ke belakang, kenaikan harga pangan bergejolak pernah mencapai level tinggi, yakni mulai dari pertengahan tahun lalu hingga Maret 2024. Bahkan, Susiwijono mengatakan kenaikan volatile food pada Maret lalu mencapai dua digit, yaitu sekitar 10%.

Lalu, pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) menargetkan inflasi turun hingga 5%. Upaya itu berhasil, inflasi volatile food mencapai 1,34% pada September 2024.

"Sehingga kalau kita lihat dari tiga komponen tadi, penurunan tertinggi ada di komponen pangan dan itu sesuai target kita," paparnya.

Sementara itu, dari sisi inflasi inti masih terjadi inflasi 0,16% ditopang harga kopi dan biaya pendidikan. Oleh karena itu kondisi deflasi ini tidak perlu dikhawatirkan karena terjadi imbas penurunan harga volatile food.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menyampaikan bahwa deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan secara berturut turut.

"Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Bahkan bukan lagi tahan belanja tetapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya. Kelas menengah rentan sulit cari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas tahan belanja khawatir situasi ekonomi memburuk," papar Bhima.

Jika deflasi berlanjut maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan revisi rencana bisnisnya.

Baca:
Prabowo Mau Ubah Subsidi BBM ke BLT, Ini yang Harus Diwaspadai

3. Kontraksi PMI Manufaktur

Pemburukan ekonomi ketiga ditandai oleh aktivitas manufaktur Indonesia yang lagi-lagi mengalami kontraksi pada September 2024. Kontraksi ini memperpanjang masa koreksi manufaktur RI menjadi tiga bulan beruntun.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global minggu lalu, Selasa (1/10/2024) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke 49,2 pada September 2024. Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2).

PMI yang tercatat 49,2 pada September 2024 memang lebih kecil dibandingkan pada Agustus. Namun, kondisi tersebut tidak melepaskan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.

Data Tim Riset CNBC Indonesia menunjukkan terakhir kali Indonesia mencatat kontraksi manufaktur selama tiga bulan beruntun adalah pada awal pandemi Covid-19, yaitu pada 2020 atau empat tahun lalu di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.

Baca:
Sepekan Penuh Rupiah Ambruk, Dolar Menguat Sentuh Rp15.480

Pada awal pandemi, PMI sempat mengalami kontraksi empat bulan beruntun yakni pada April-Juli 2020. Kontraksi PMI Manufaktur selama tiga bulan beruntun pada Juli-September 2024 juga menjadi catatan buruk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang lengser pada 20 Oktober mendatang.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

Adapun, S&P menjelaskan kontraksi pada manufkatur Indonesia dipicu oleh turunnya permintaan. Kondisi ini membuat stok barang di gudang meningkat. Perusahaan juga mengurangi aktivitas pembelian sebagai respons terhadap melemahnya permintaan pasar.

Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menjelaskan kembali kontraksinya PMI Manufaktur Indonesia karena lesunya permintaan dari luar negeri akibat lesunya perekonomian global.

Permintaan manufaktur global yang lesu membebani penjualan luar negeri. Permintaan baru di ekspor bahkan turun selama tujuh bulan beruntun dan menyentuh level terendah sejak November 2022.

"Performa sektor manufaktur Indonesia yang kurang menggembirakan terkait erat dengan kondisi makroekonomi global yang umumnya lesu. Perusahaan merespons dengan mengurangi aktivitas pembelian dan lebih memilih untuk memanfaatkan persediaan serta menjaga biaya serta efisiensi operasional," tutur Paul dalam website resmi mereka.

Baca:
Demi Kelas Menengah, Kuota FLPP Ditambah Jadi 200.000 Unit

Di tengah permintaan yang lesu, biaya input barang justru meningkat secara signifikan karena faktor nilai tukar yang tidak menguntungkan. Inflasi yang terus melandai ke level terendah setahun bahkan kurang mampu menekan biaya input.

Kendati demikian, untuk pertama kalinya sejak Juni 2023, perusahaan memilih untuk sedikit mengurangi harga output. Hal ini juga mengindikasikan lemahnya sisi penyerapan di masyarakat yang mendorong industri menurunkan harga.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai meskipun ada sedikit kenaikan pada PMI manufaktur bulan September, namun kondisinya masih kontraksi.

"Agar bisa kembali ekspansif, sektor industri membutuhkan dukungan regulasi yang tepat dari berbagai Kementerian/Lembaga, sehingga industri dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Agus dalam keterangan resmi, dikutip Senin (7/10/2024).

Menurutnya, kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh sektor manufaktur di antaranya tindakan merevisi Permendag No 8 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Gas Bumi untuk Kebutuhan Domestik, dan Peraturan Menteri Keuangan terkait Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) ubin keramik impor dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) kain impor.


(haa/haa) Saksikan video di bawah ini:

Video: Tinggal Sebulan Jadi Presiden, Jokowi Hadapi 2 Kabar "Buruk"

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article PMI Manufaktur Jeblok & Deflasi 4 Bulan, Bahaya Ini Mengintai RI