ligadewa asia

    Release time:2024-10-07 21:51:58    source:liga 2000 gacor   

ligadewa asia,hasil skor liga prancis,ligadewa asia

Catatan:Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dalam berbagai pembahasan Kebijakan ekonomi, kita akan selalu dihadapkan pada situasi yang dilematis. Bahkan Raja Inggris dalam masa Great Depressiondulu menyampaikan kebingungannya, kenapa setiap kali bertemu dengan ekonom, setiap orang pasti menyampaikan hal yang berbeda.

Baca:
Pimpin Sidang Kabinet Terakhir di IKN, Jokowi Ucapkan Terima Kasih

Mengundang lima orang ekonom, pasti akan mendapatkan lima pandangan yang berbeda terkait hal yang sama. Pada akhirnya, kebijakan harus membahas tentang target apa yang hendak dicapai, dengan berbagai keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Terkait isu pertumbuhan dan kestabilan, frasa stability over growthadalah hal yang jamak kita temui dalam pengambilan keputusan sektor keuangan 10 tahun terakhir. Hal ini sangat mengena semenjak terjadinya tapering sentimentdi tahun 2013.

Kita dalam dekade ke belakang memang tidak berdaya melawan kedigdayaan dolar AS. Hampir semua pengetatan moneter yang terjadi di Indonesia satu dekade ke belakang terjadi demi kestabilan rupiah terhadap dolar AS, di tengah tingkat inflasi yang secara relatif sangat terkendali.

Bank Indonesia (BI) telah melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa dengan jurus silat macroprudential policydan kerja sama dengan disiplin fiskal Kementerian Keuangan sudah berhasil membawa kita keluar dari masa-masa penuh volatilitas.

Namun di sisi lain, kalau kita melihat kondisi sektor ril, dengan melihat data perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI), kita bisa melihat bahwa terdapat kecenderungan penurunan pertumbuhan penjualan maupun laba.

Walaupun pertumbuhan ekonomi kita konstan di kisaran 5% dalam dekade terakhir, tren dari return on equityterus mengalami penurunan, dan sektor rill secara konstan mempermasalahkan ekonomi yang lesu. Sehingga kondisi yang kita temui di lapangan menjadi menarik, di tengah indikator makroekonomi yang sangat solid, kita melihat dilema pelemahan pertumbuhan baik di level korporasi, UMKM, dan masyarakat yang terus melemah.

Kalau kita melihat data pertumbuhan PDB nominal (PDB di mana termasuk komponen inflasi), data ini mengalami tren deselerasi yang cukup tajam, dari rata-rata 12% pada tahun 2010-16, menjadi hanya 7% pada 2016-2024. Wajar saja kita melihat bisnis-bisnis mengalami perlambatan pertumbuhan, yang berujung juga dengan penurunan serapan lapangan kerja.

Di satu sisi, dari sisi kesehatan perbankan, kita sudah memiliki sektor perbankan yang sangat kuat, dengan rasio capital adequacy ratiodan non performing loanyang sangat rendah, dengan net interest marginyang sangat baik.

Menariknya, di tengah kuatnya indikator perbankan, kita mengalami isu keterbatasan likuiditas di masyarakat. Kondisi ini membuat kita membutuhkan enablersektor keuangan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kestabilan ekonomi bagus, namun level perputaran ekonomi yang tercermin dalam kecepatan uang beredar (M2/PDB), belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.

Di sisi lain, selalu pembahasan yang muncul adalah adanya perlambatan ekonomi global, yang telah dibahas bertahun-tahun dan selalu membuat kita di dalam kondisi waspada. Dengan terus-menerus adanya kondisi yang disebut VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexityand Ambiguity), maka akan menjadi aneh, kalau kita masih hanya dalam tahap waspada dan terus menerus berhati-hati.

Padahal ini sudah menjadi masalah menahun. Mungkin dalam hal ini, memang kita memang sudah harus melakukan perubahan cara pandang. Apakah kita memang sangat berhati-hati sehingga aktivitas ekonomi menjadi sangat terbatas?

Ibarat seorang remaja yang berbakat di bidang balap sepeda, dilarang untuk menggenjot sepeda secepat-cepatnya karena takut jatuh. Jika mindset-nya seperti ini, hampir dipastikan, menjadi juara, atau dalam konteks tulisan ini, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi hanya akan jadi mimpi.

Seharusnya, remaja berbakat tadi tidak dilarang untuk menggenjot sepeda secepat-cepatnya, tapi harus diberikan featuremanajemen resiko dalam bersepeda, seperti helm, pelindung siku dan pelindung lutut. Terkait dengan ini, mekanisme pasar keuangan, yang salah satu fungsi utamanya sebagai risk-sharingdan manajemen resiko harus ditingkatkan.

Sektor Keuangan yang Kuat Harus Mendukung Pertumbuhan Ekonomi.
Terkait dengan kondisi yang dijabarkan di atas, terdapat beberapa target antara (intermediary target) yang harus dicapai, sehingga sektor keuangan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi, sesuai dengan amanat Undang-Undang P2SK.

Dalam tulisan ini akan kita bahas beberapa kebijakan yang bisa mengangkat potensi pertumbuhan ekonomi dari sektor keuangan. Berikut perinciannya:

a. Penjajakan Internasionalisasi Aset Berbasis Rupiah Harus Dimulai

Hal ini terkait masalah menahun terkait nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada saat ini, terdapat beberapa keterbatasan yang membuat rupiah tidak bisa diperdagangkan di luar negeri.

Selama ini kita masih terjebak pada mindsetdi mana kita harus menyelesaikan permasalahan dari nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dengan memberikan insentif untuk mendatangkan dolar ke dalam negeri.

Yang mana, kalau kita terjebak dalam mindsettersebut, kita akan terus menerus melakukan pengetatan moneter yang prematur dalam kondisi inflasi rendah, serta memotong belanja negara, hanya demi memenuhi dahaga pasar keuangan akan kestabilan.

Saat ini rupiah sudah stabil dikarenakan adanya ekspektasi pemotongan bunga acuan Bank Sentral AS (The Federal Reserve), namun volatilitas seperti yang kita alami beberapa waktu terakhir akan terus menjadi momok yang menakutkan dan kita akan selalu melakukan rem pada perekonomian.

BI telah melaksanakan langkah yang sangat strategis dengan memperkenalkan bilateral currency swapyang memungkinkan kita melakukan transaksi dengan negara-negara tetangga dalam mata uang lokal. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sangat baik, namun baru setengah jalan.

Untuk melengkapi Kebijakan ini, kita juga harus pada saat yang sama menawarkan negara mitra dagang untuk langsung membeli aset rupiah dari penerbit yang ada di Republik Indonesia (dalam fase awal, adalah Obligasi Negara Republik Indonesia) atau memudahkan entitas RI untuk menerbitkan obligasi dalam denominasi mata uang negara mitra dagang.

Jika hal ini tercapai, tekanan yang biasa terjadi di dalam pasar keuangan Ketika ada fase USD upcycle, bisa kita minimalisasi, dan Indonesia tetap bisa tumbuh tinggi,  di tengah adanya tekanan dolar AS.

b. Pendalaman Pasar Derivatif (Lindung Nilai) Secara Lebih Serius

Selama ini, pasar derivatif yang dangkal dan cenderung one-sidedmenjadi alasan dari berbagai transaksi tidak bisa dilakukan. Keterbatasan inilah yang membuat sektor swasta cenderung risk aversesetiap kali terjadi volatilitas rupiah dan outlookpengetatan likuiditas.

Ketiadaan instrumen juga membuat kita cenderung terjebak dalam mindsetmencari yang stabil saja, tanpa mencoba untuk menembus batasan-batasan yang ada untuk tumbuh lebih tinggi.

Terkait dengan volatilitas, terdapat beberapa instrumen menarik yang bisa digunakan. Contoh volatilitas mata uang yang ekstrem pernah dan masih terjadi di Turki. Menariknya, dengan volatilitas yang sangat tinggi tersebut, tidak terjadi kebangkrutan masal di Turki walaupun Lira mengalami pelemahan yang sangat hebat.

Performa pasar saham Turki justru mengalami kenaikan yang luar biasa. Terkait hal ini, ternyata Turki memberikan insentif kepada sektor swasta yang terkena dampak volatilitas mata uang dengan fasilitas Foreign Linked Deposit, sehingga risiko volatilitas di pasar valas bisa dikelola dengan baik tanpa harus mengerem aktivitas ekonomi.

Ini adalah salah satu contoh di mana pasar keuangan yang dalam memungkinkan para pelaku ekonomi untuk melindungi dirinya dengan aktivitas lindung nilai. Pasar derivatif ibarat helm, pelindung siku dan pelindung lutut bagi para pembalap ekonomi yang ingin tumbuh tinggi.

c. Arahan dan Insentif bagi Lembaga Keuangan Non-Bank untuk Investasi Langsung dan Investasi yang Berbasiskan Pertumbuhan Ekonomi

Saat ini, total aset industri asuransi Indonesia sebesar Rp 1.132 triliun. Sementara dana pensiun mencapai Rp 1.464 triliun dan dana kelolaan industri reksadana sebesar Rp 508 triliun. Semua ini memiliki potensi yang sangat besar kalau kita mau mengarahkan dana kelolaan tersebut kepada instrumen dengan pengembalian investasi yang lebih tinggi, dengan tetap mempertimbangkan tata kelola dan manajemen resiko.

Beberapa negara tetangga sudah melakukan inisiatif ekonomi yang mirip. Malaysia lewat Gear-UPtelah mengalokasikan dana dari lembaga-lembaga investasi yang dimiliki pemerintah untuk melakukan investasi langsung dalam negeri (Domestic Direct Investment), yang berfokus pada sektor-sektor dengan pertumbuhan tinggi dan transisi ekonomi menuju pertumbuhan yang sustainable.

Ke depan, seiring dengan semakin urgen-nya kita untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, perubahan-perubahan konstruktif sektor keuangan tentunya perlu kita kejar. Jangan sampai kita menjadi seperti ayam yang mati di lumbung padi, di mana banyak potensi tidak bisa dioptimalkan karena permasalahan-permasalahan struktural menahun yang sebenarnya bisa diselesaikan.

Jika ini semua bisa diselesaikan, intermediasi keuangan kita dari sisi sektor perbankan pun akan terus membaik. Dengan perubahan yang gradual di sektor keuangan, komunikasi yang baik dari berbagai pemangku kepentingan, arah pertumbuhan yang tinggi dan sustainableakan bisa kita capai.



(miq/miq)